Membaca ungkapan Imam Al Auza’itak urung membuat hati kecut. Karena kalau mau mengoreksi diri tampaknya kita bisa masuk kategori golongan kedua tersebut. Walau sering kali diri kita begitu pongah, merasa diri telah banyak beramal atau memberikan segudang jasa pada islam dan umatanya. Menjual akhirat demi keuntungan dan kepentingan dunia yang sesaat. Kelompok manusia yang payah dan laksana buih, yang disebut sebagai orang munafik.
“Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi.” (Ar Ra’du:17)
Lebih banyak ngomong dan berkomentar dibandingkan menyibukan diri dengan beramal kebajikan. Istilah munafik sendiri telah diberikan oleh syariat pada mereka yang menyembunyikan kekufuran dan menampakkan keimanan. Jadi tak usah diganti dengan istilah lain yang baru. Orang munafik adalah orang yang beriman secara lahiriah namun batinnya menyimpang kekufuaran, kebencian dan kemurkaan pada ajaran islam. Inilah golongan munafikin yang paten seratus persen.
Mungkin kita belum sampai pada tingkat seperti itu. Namun begitu beberapa karakter dan cirri khas orang munafikin bisa saja dimiliki oleh seorang muslim. Rasulullah SAW pernah menyebutkan sebagian cirri-ciri dan amalan yang melekat pada pribadi munafik. Seperti bila berkata maka berdusta, berjanji tidak menepati, dan bila diberi amanah maka berkhianat. Demikian pula bila bermusuh maka ia culas. Sifat-sifat kaum munafikin bisa membentuk pribadi munafikin betulan bila amalan-amalan tersebut dimiliki dan tak segerah ditinggalkan. Padahal sifat-sifat seperti ini tidak bisa diingkaridan kadang ditemui pada diri seorang muslim. Mungkin juga ditemukan pada diri kita.
Sebagaimana juga berbagai karakter kejahiliyahan bisa juga dilakukan oleh sebagaian kaum muslimin. Seperti berbangga dengan nasab, merasa beruntung dan sial karena bintang atau rasi bintang.
Kecemasan terhadap ‘status’ sudah selayaknya membayangi kehidupan seorang muslim. Jangan-jangan dirinya masih tergolong orang-orang munafikin, yang sedikit berzikir, banyak ngomong dikit beramal, hobi berdusta, riya dalam beribadah. Sadara pada kekurangan ini akan memacu diri untuk melepaskan diri dari karakter tercela yang ditakutinya tadi.sebaliknya,ia akan berusaha untuk menghadirkan sikap dan karakter yang merupakan kebalikan dari karakter kaum munafikin. Usaha tersebut berangkat dengan memanjatkan doa-doa agar dihindarkan dari keburukan dan akhlak munafikin. Memohon kepada Allah agar dihidarkan dari sifat-sifat kaum kafir dan munafikin. Demikian pula memohonsupaya dikelompokandalam golongan orang-orang yang mukmin yang bertakwa.
Seorang umar bin khatab yang begitu shalih menyempatkan diri bertanya seorang sahabat apakah Nabi Muhammad Saw pernah menyebut dirinya sebagai orang munafik. Pertanyaan yang muncul dari kecemasan pada status dirinya. Padahal siapa yang tak
kenal pribadi Umar. Beliau termasu sahabat yang mendapatkan jaminan dari Nabi Saw masuk kedalam surga. Akidahnya kuat, ibadahnya sangat indah dan perjuangannya untuk umat islam sangat hebat. Seorang Umar masih mempertanyakan dirinya apakah termasuk dalam status munafuk atau tidak. Subhanaallah.
Rasanya kita lebih pantas melakukan apa yang dilakukan Umar, salah seorang Khalafaur Rasyidin, yang kita dianjurkan mengambil petujuknya.
Pembelokan Istilah Munafik
Banyak orang membelokkan kata-kata munafik untuk orang yang tidak mau berbuat maksiat. Seorang temanku langsung dicap sebagai seorang munafik oleh teman-temannya ketika tidak mau ikut-ikutan ngumbar pandangan pada seorang perempuan bukan mahram. ”Jangan munafik kamu.”
Seorang artis pernah berterus terang kalau memakai narkobah. “Aku nggak munafik, deh,” pengakuannya. Jadi kata munafik dilabelkan pada orang-orang yang tidak mau berbuat maksiat. Seolah mereka mengatakan bahwa maksiat dan bebuat dosa sah-sah saja. Itu lebih baik dari pada orang yang tidak mau melakukan maksiat yang sejenis. Pembelokan makna ini jelas merupakan tantangan bagi orang-orang yang hendak berislam secara benar. Kata-kata penghinaan ini bisa membuat hati orang yang hendak beriman secar benar jadi goyah dan kemudian ikut-ikutan berbuat maksiat, karena tak tahan dengan ejekan kawan-kawanya.
Orang-orang munafikin di masa lalu juga bertidak hal yang berbeda. Meraka melakukan berbagai tindakan untuk melemahkan semangat orang –orang beriman dalam beramal kebaikan. Ketika ada kaum muslimin yang bersedekah dengan jumlah yang sedikit meraka merendahkannya. Sebaliknya, bila ada orang yang bersedekah banyak , merka menuduhnya sebagai orang yang riya.’ Pada saat kaum muslimin hendak berangkat kemedan jihad maka merka mengendorkan semangat juangnya dengan berbagai trik busuk. Kaum munafikin paham dengan kebenaran ajaran islam namun secara kesombongan, ketinggian hati dan kedengkian membuat meraka tak mau menerima ajaran islam dengan suka rela.
Topik : Sedikit Kata Banyak Beramal
Sumber : Nur azizah